Langit mulai
menghitam sedangkan kertas-kertas sebuah surat di atas meja belajarku belum
juga selesai aku baca. Beratus-ratus kata tertulis di dalamnya, hanya surat
jauh darimu, kawan yang sekali pun belum pernah aku kenal dekat setelah sepuluh
tahun berpisah. Ya, kamu, aku ingat betul, kita tidak pernah akrab sebelumnya,
bahkan aku tidak ingat bagaimana lekuk wajahmu, aku lupa sapaanmu padaku, dan
semua hal tentangmu, sepertinya semua begitu mudah hilang dari ingatanku,
terhapus dan menghilang dari lobulus-lobulus otakku. Hanya samar-samar
teringat, kamu pernah tersenyum indah di antara orang-orang yang berdiri tegak
dan tegas di hadapan mahasiswa baru. Entahah, aku tidak begitu ingat, mungkin tepatnya,
aku sudah lupa.
“…di antara banyak
mahasiswi yang aneh, kamu adalah yang paling aneh, dan aku suka…” katamu
dalam sebuah kalimat pada paragraf bagian awal. Aneh, bagaimana bisa kamu
menganggapku aneh sedangkan kita hanya bertemu sekali, seingatku hanya sekali. Mungkin
tingkah konyolku yang menangis di hadapan seluruh mahasiswa baru bisa disebut
aneh, tapi bukankah tidak hanya aku yang melakukannya dan bukankah ketika itu
kamu tidak ada di lokasi, hanya ada beberapa senior perempuan dan seorang
senior laki-laki di hadapan kami. Entahlah, aku pikir kamulah yang aneh.
“…dan bagaimana bisa
aku menemukan tetesan air hujan yang menyejukkan di antara tetesan air matamu,
dan setelah tangisan indah itu, pelangi terlukis jelas pada hitam kornea matamu,
sungguh aku mengaguminya…”
“Aku tidak pernah
setertarik ini sebelumnya, keindahan ciptaan Tuhan pada seorang perempuan,
tepatnya yang ada padamu, mungkin inilah yang disebut jatuh hati, cinta,
seperti inikah cinta, jelaskan padaku arti cinta menurutmu…” katamu pada
kertas halaman ketiga. Aku memperhatikannya, mencernanya pelan menurut bahasa
hatiku. Aku berhenti sejenak, menghela nafas dan sesekali menelan ludah sebelum
melanjutkan kalimat-kalimat pada kertas suratmu.
Sepuluh
tahun lalu, ketika aku tidak mengenalmu dan mungkin begitu pula denganmu, tidak
pernah terbesit di otakku bahwa kamu menyimpan hal lain yang tidak pernah kamu
ucapkan melalui lisan bahkan tindakanmu. Kamu dan aku, bahkan kita tidak pernah
saling mengobrol sebelumnya, satu jurusan tidak membuat kita lebih dekat,
justru kita jarang bertemu.
“Maafkan aku, sepuluh
tahun lalu aku tidak berani mengungkapkannya, aku tidak begitu memedulikan kata
hatiku. Aku tidak percaya telah jatuh hati padamu, dan sekarang ketika waktuku
semakin berkurang, aku merasa terjebak dalam situasi di antara indah dan tidak,
di antara tenang dan gundah karenamu, karena perasaanku padamu…”
Aku
hanya diam, tidak sepatah kata pun terucap dari bibirku. Aku tidak percaya, sepuluh
tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpannya sendiri, bahkan kamu berhasil
mengacuhkannya, bukankah demikian? Hebat, perasaan itu, cintamu padaku,
tidakkah berkurang seiring berjalannya waktu? Ya cinta, suatu abstraksi yang
tidak mudah dijelaskan dengan indikator apapun di dunia ini, keindahan yang
bisa sangat mudah terlupakan walaupun mudah pula kembali dan dapat melekat
semakin kuat di hati. Cinta yang bisa kapan saja menghancurkanmu menjadi
butiran-butiran debu tidak terlihat, memutar keimananmu dan melemahkan logikamu
dengan mudah.
“Mungkin saat ini kamu berpikir bahwa aku
sedang berbohong, silahkan saja, aku yakin kamu bukan orang yang bisa dengan
mudah memercayai orang yang belum kamu kenal dekat, termasuk aku yang hanya
masuk ke dalam hidupmu beberapa waktu saja, dan bisa kita tahu, kamu tidak
memiliki kenangan indah tentangku, yang dapat mengingatkanmu pada sosokku…”
Ya, itu jelas, kamu benar, aku bahkan merasa takut ketika pertama kali membuka
suratmu, surat berisi sembilan lembar kertas putih bersih dengan tinta hitam
dan tulisan yang sangat rapi untuk ukuran seorang laki-laki.
No comments:
Post a Comment