Pages

Sunday, May 19, 2013

Sembilan Lembar Cinta



Langit mulai menghitam sedangkan kertas-kertas sebuah surat di atas meja belajarku belum juga selesai aku baca. Beratus-ratus kata tertulis di dalamnya, hanya surat jauh darimu, kawan yang sekali pun belum pernah aku kenal dekat setelah sepuluh tahun berpisah. Ya, kamu, aku ingat betul, kita tidak pernah akrab sebelumnya, bahkan aku tidak ingat bagaimana lekuk wajahmu, aku lupa sapaanmu padaku, dan semua hal tentangmu, sepertinya semua begitu mudah hilang dari ingatanku, terhapus dan menghilang dari lobulus-lobulus otakku. Hanya samar-samar teringat, kamu pernah tersenyum indah di antara orang-orang yang berdiri tegak dan tegas di hadapan mahasiswa baru. Entahah, aku tidak begitu ingat, mungkin tepatnya, aku sudah lupa.
            “…di antara banyak mahasiswi yang aneh, kamu adalah yang paling aneh, dan aku suka…” katamu dalam sebuah kalimat pada paragraf bagian awal. Aneh, bagaimana bisa kamu menganggapku aneh sedangkan kita hanya bertemu sekali, seingatku hanya sekali. Mungkin tingkah konyolku yang menangis di hadapan seluruh mahasiswa baru bisa disebut aneh, tapi bukankah tidak hanya aku yang melakukannya dan bukankah ketika itu kamu tidak ada di lokasi, hanya ada beberapa senior perempuan dan seorang senior laki-laki di hadapan kami. Entahlah, aku pikir kamulah yang aneh.
            “…dan bagaimana bisa aku menemukan tetesan air hujan yang menyejukkan di antara tetesan air matamu, dan setelah tangisan indah itu, pelangi terlukis jelas pada hitam kornea matamu, sungguh aku mengaguminya…”
            “Aku tidak pernah setertarik ini sebelumnya, keindahan ciptaan Tuhan pada seorang perempuan, tepatnya yang ada padamu, mungkin inilah yang disebut jatuh hati, cinta, seperti inikah cinta, jelaskan padaku arti cinta menurutmu…” katamu pada kertas halaman ketiga. Aku memperhatikannya, mencernanya pelan menurut bahasa hatiku. Aku berhenti sejenak, menghela nafas dan sesekali menelan ludah sebelum melanjutkan kalimat-kalimat pada kertas suratmu.
            Sepuluh tahun lalu, ketika aku tidak mengenalmu dan mungkin begitu pula denganmu, tidak pernah terbesit di otakku bahwa kamu menyimpan hal lain yang tidak pernah kamu ucapkan melalui lisan bahkan tindakanmu. Kamu dan aku, bahkan kita tidak pernah saling mengobrol sebelumnya, satu jurusan tidak membuat kita lebih dekat, justru kita jarang bertemu.
            “Maafkan aku, sepuluh tahun lalu aku tidak berani mengungkapkannya, aku tidak begitu memedulikan kata hatiku. Aku tidak percaya telah jatuh hati padamu, dan sekarang ketika waktuku semakin berkurang, aku merasa terjebak dalam situasi di antara indah dan tidak, di antara tenang dan gundah karenamu, karena perasaanku padamu…”
            Aku hanya diam, tidak sepatah kata pun terucap dari bibirku. Aku tidak percaya, sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpannya sendiri, bahkan kamu berhasil mengacuhkannya, bukankah demikian? Hebat, perasaan itu, cintamu padaku, tidakkah berkurang seiring berjalannya waktu? Ya cinta, suatu abstraksi yang tidak mudah dijelaskan dengan indikator apapun di dunia ini, keindahan yang bisa sangat mudah terlupakan walaupun mudah pula kembali dan dapat melekat semakin kuat di hati. Cinta yang bisa kapan saja menghancurkanmu menjadi butiran-butiran debu tidak terlihat, memutar keimananmu dan melemahkan logikamu dengan mudah.
            “Mungkin saat ini kamu berpikir bahwa aku sedang berbohong, silahkan saja, aku yakin kamu bukan orang yang bisa dengan mudah memercayai orang yang belum kamu kenal dekat, termasuk aku yang hanya masuk ke dalam hidupmu beberapa waktu saja, dan bisa kita tahu, kamu tidak memiliki kenangan indah tentangku, yang dapat mengingatkanmu pada sosokku…” Ya, itu jelas, kamu benar, aku bahkan merasa takut ketika pertama kali membuka suratmu, surat berisi sembilan lembar kertas putih bersih dengan tinta hitam dan tulisan yang sangat rapi untuk ukuran seorang laki-laki. 

No comments:

Post a Comment