Satu tahun
tujuh bulan memang bukan waktu yang cukup untuk mengenalmu, memahami lebih
dalam tentang hati dan jalan otakmu. Dua puluh empat jam waktu kita tidak juga
cukup bagiku untuk menilaimu, memberimu poin positif atau negatif. Dua belas
jam kebersamaan kita bahkan tidak cukup bagiku untuk melukis keindahan dua
kelingking yang menyatu. Bukankah semua terasa begitu cepat berlalu, sudah
lewat enam bulan lalu ketika masing-masing jemari kita dipisahkan oleh dimensi
jarak dan waktu.
Dua hari lalu
saat pertama kali rintik hujan turun di tempat yang kering ini, perayaan ulang
tahun pertama tanpa lilin selamat darimu. Lampu-lampu jalan mulai menyala,
memperhatikan langkahku yang terburu-buru menuju pohon harapan, berteduh di
bawahnya dan berharap air hujan tidak akan membasahi semua kenangan yang aku
simpan dalam sepucuk surat untukmu.
Aku rasa pohon
ini tidak seperti dulu, tingginya tidak lebih dari sepuluh meter dengan
dedaunan yang mengering dan rontok terguyur butiran air yang rindu tanah
kering. Rantingnya tidak sebanyak dulu, hanya terlihat beberapa yang kokoh
menopang kesedihan setelah terik mentari merajai beberapa bulan ini. Meskipun
begitu, lingkar batangnya masih sama, masih tidak bisa aku dekap dalam pelukku.
“…untukmu yang selalu menggandeng harapanku.
Aku tidak bisa berdiam diri dan menghentikan jantung yang terus berdetak untukmu.
Aku pun tidak bisa menghentikan langkahku untuk mencari dan menemukan hati yang
tersimpan dalam tumpukan kertas lama, usang dan entah di mana semua itu
tersimpan. Aku mengingatnya dalam setiap detik yang berlalu tanpamu, aku pernah
menuliskannya dalam sebuah buku mini yang aku hanyutkan di pelabuhan pinggir
kota beberapa bulan lalu. Tuhan memang pernah mendekatkan telapak tangan kita,
sebagaimana Tuhan mendekatkan telunjuk dan jari tengah. Dua kaki kita memang
pernah ditakdirkan untuk berada di jalan yang sama, melangkah dengan irama yang
sama dan berhenti di tempat yang sama pula, tidak ada traffic light dan polisi
yang menghentikan laju yang terkadang melebihi kecepatan normal. Ada
kejanggalan berarti ketika laju itu dihentikan oleh tikungan dan persimpangan
jalan yang terlalu banyak, kita harus memilih jalan yang akan kita lalui,
“bersama” bukankah itu harapan kita. Aku merasakan udara bimbang di sekitar
kita sebelum sebuah suara dari dalam hati ini berteriak “belok kanan”, mungkin
kamu juga merasakannya. Aku mempertimbangkannya matang-matang, belok kiri akan membuat
perjalanan kita lebih jauh, tentu memakan waktu yang lebih banyak, sedangkan
kita tahu bahwa setiap detik kita merupakan hadiah Tuhan yang sangat unik. Aku
tidak ragu mengarahkan kemudiku ke sisi kanan sebelum akhirnya aku harus
menginjak remku untuk berhenti, memperhatikan punggungmu yang semakin menjauh
ke arah kiri. Aku berteriak keras, tapi aku rasa luasnya langit telah
mengaburkan suaraku. Aku mencoba mengirim radar padamu, suatu petunjuk yang
selama ini kita gunakan ketika tersesat dalam kesunyian dan pertengkaran hebat,
tapi tidak juga berhasil. Pada akhirnya aku harus rela mengikuti arahmu yang
lebih rumit dan aku menemukanmu berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Aku
tidak ingin menanyakan apapun tentang keputusanmu memilih arah berbeda, aku
pikir aku harus mengikutimu karena aku percaya jalan yang kamu ambil tentu baik
untukku. Namun aku mendengar jawaban lain darimu, sebuah jawaban yang
menggetarkan keberanianku atas semua resiko kebersamaan kita…”
Aku pernah
menyanyikan sebuah lagu untukmu, dan aku rasa lagu ini tepat untuk kita saat
ini. Kamu ingat, lagu ini pernah menduduki playlist
teratas di memori musik telepon selulerku. Aku menyadarinya, lagu itu benar,
seberapapun kuat ikatan kita, bila aku bukan jalanmu, “mungkin” aku akan
berhenti mengharapkanmu, tapi jika aku memang diciptakan Tuhan untuk menjadi
bagian dari hidupmu, aku pasti memilikimu karena aku percaya, tulang rusuk
tidak akan pernah tertukar.
“…jika aku bukan jalanmu, ku berhenti
mengharapkanmu, jika aku tercipta untukmu, ku kan memilikimu, jodoh pasti
bertemu…”
Hujan tidak
kunjung reda meskipun sebuah lilin harapan aku keluarkan dari dalam saku
jaketku. Aku nyalakan api dan lilin itu menghangatkanku. Aku ingat, ulang
tahunku tahun lalu, ketika pagi buta yang dingin ditemani guyuran hujan kamu
datang dan mengejutkanku dengan bunga yang kamu petik dari dalam hatimu, segar
dan tidak pernah habis harumnya. Lilin yang sama pernah menghangatkanmu,
membuat air mata kita jatuh di atas rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk umurku yang bertambah dan berharap menjadi berkah.
“Atas umur yang Tuhan berikan padamu, aku
harap kamu bisa menjaganya sehingga bisa kamu gunakan untuk membahagiakan
orang-orang di sekitarmu, orang yang kamu sayang, termasuk aku”
Tetes
air hujan perlahan menetes di pundakku. Aku bisa merasakannya, dingin dan
kosong, jatuh ke arah bawah, aku merasakan kerinduannya yang mendalam pada
tanah yang aku pijak, tanah yang sudah retak dan tidak berpenghuni. Sama
seperti tetesan air mataku yang perlahan menetes melewati dua tahanan pipi dan
akhirnya tak bisa dibedakan dengan air hujan. Kami sama-sama merasakan sedih
dan rindu meskipun dalam konteks yang berbeda.
“…sayang, pergilah kemanapun kamu ingin
melangkahkan kakimu, bersenang-senanglah dengan pilihan yang kamu buat, kamu
bebas melakukan apapun yang kamu inginkan, kaki kita mungkin harus saling
menjauh dan menemukan titik akhir masing-masing, bukankah kita sama-sama tidak
tahu dimana dan dengan siapa kita akan berhenti untuk bahagia di dunia ini,
mungkin titik akhirmu adalah puncak gunung sedangkan aku mungkin akan menemukan
titik akhir yang lebih jauh, mungkin dasar laut atau palung laut. Kita memang
pernah terkurung dalam suatu ruang yang tidak tahu dimana ujungnya dan saat ini
aku tidak berhak atas senang dan sedihmu, simpan itu untuk “dia” yang menjemput
di balik pintumu.”
Aku
menjadi sangat kaku dan pendiam setelah memutuskan membelokkan kemudiku,
menjauh untuk melaju di jalanku sendiri, sekali lagi dengan dua kaki yang tidak
begitu kuat untuk melangkah mantap. Aku terus menerus memutar sebuah lagu yang menguatkan
tekadku untuk mempertahankan hubungan diantara kita.
“…aku memang tak berhati besar untuk
memahami hatimu di sana, aku memang tak berlapang dada untuk menyadari kau
bukan milikku lagi, dengar…dengarkan aku, aku akan bertahan sampai kapanpun,
sampai kapanpun…”
Beberapa waktu
kemudian, aku tidak begitu yakin dengan lirik laguku, mempertahankan sesuatu
yang tidak ingin dipertahankan mungkin bukan cara yang tepat untuk
membahagiakan orang yang kita sayang. Aku rasa kita memang harus bertemu orang
yang tidak tepat sebelum menemukan “dia” yang akan bersanding dengan kita di
kursi senang dan sedih yang sesungguhnya, jodoh kita. Tuhan pasti menginginkan
sesuatu dari kita di persimpangan jalan itu, mungkin Dia ingin kita berusaha
memantaskan diri dan mulai menyadari untuk tidak mengambil “hak orang lain” dan
bersedia menunggu waktu yang tepat untuk memeluk harapan masa depan.
Baiklah,
lilin harapan yang tersisa ini, akan aku simpan dan aku nyalakan nanti untuk
dia yang kedinginan dan perlu kehangatan kasih dan sayang. Sepucuk surat
harapan berisi pesan cinta juga akan aku tulis untuknya agar dia tahu
keberhasilanku menanti saat yang tepat untuk dia yang tepat.
“Oh Tuhan, tolong aku sampaikan pesan ini
padanya agar dia tau bahwa kini aku jatuh cinta, Oh Tuhan tolong aku temukan
cara tuk mendapatkan dia, karena kini ku tlah jatuh cinta…”
No comments:
Post a Comment