Pages

Saturday, October 26, 2013

Mengingat Persimpangan Jalan

Satu tahun tujuh bulan memang bukan waktu yang cukup untuk mengenalmu, memahami lebih dalam tentang hati dan jalan otakmu. Dua puluh empat jam waktu kita tidak juga cukup bagiku untuk menilaimu, memberimu poin positif atau negatif. Dua belas jam kebersamaan kita bahkan tidak cukup bagiku untuk melukis keindahan dua kelingking yang menyatu. Bukankah semua terasa begitu cepat berlalu, sudah lewat enam bulan lalu ketika masing-masing jemari kita dipisahkan oleh dimensi jarak dan waktu.
Dua hari lalu saat pertama kali rintik hujan turun di tempat yang kering ini, perayaan ulang tahun pertama tanpa lilin selamat darimu. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memperhatikan langkahku yang terburu-buru menuju pohon harapan, berteduh di bawahnya dan berharap air hujan tidak akan membasahi semua kenangan yang aku simpan dalam sepucuk surat untukmu.
Aku rasa pohon ini tidak seperti dulu, tingginya tidak lebih dari sepuluh meter dengan dedaunan yang mengering dan rontok terguyur butiran air yang rindu tanah kering. Rantingnya tidak sebanyak dulu, hanya terlihat beberapa yang kokoh menopang kesedihan setelah terik mentari merajai beberapa bulan ini. Meskipun begitu, lingkar batangnya masih sama, masih tidak bisa aku dekap dalam pelukku.
“…untukmu yang selalu menggandeng harapanku. Aku tidak bisa berdiam diri dan menghentikan jantung yang terus berdetak untukmu. Aku pun tidak bisa menghentikan langkahku untuk mencari dan menemukan hati yang tersimpan dalam tumpukan kertas lama, usang dan entah di mana semua itu tersimpan. Aku mengingatnya dalam setiap detik yang berlalu tanpamu, aku pernah menuliskannya dalam sebuah buku mini yang aku hanyutkan di pelabuhan pinggir kota beberapa bulan lalu. Tuhan memang pernah mendekatkan telapak tangan kita, sebagaimana Tuhan mendekatkan telunjuk dan jari tengah. Dua kaki kita memang pernah ditakdirkan untuk berada di jalan yang sama, melangkah dengan irama yang sama dan berhenti di tempat yang sama pula, tidak ada traffic light dan polisi yang menghentikan laju yang terkadang melebihi kecepatan normal. Ada kejanggalan berarti ketika laju itu dihentikan oleh tikungan dan persimpangan jalan yang terlalu banyak, kita harus memilih jalan yang akan kita lalui, “bersama” bukankah itu harapan kita. Aku merasakan udara bimbang di sekitar kita sebelum sebuah suara dari dalam hati ini berteriak “belok kanan”, mungkin kamu juga merasakannya. Aku mempertimbangkannya matang-matang, belok kiri akan membuat perjalanan kita lebih jauh, tentu memakan waktu yang lebih banyak, sedangkan kita tahu bahwa setiap detik kita merupakan hadiah Tuhan yang sangat unik. Aku tidak ragu mengarahkan kemudiku ke sisi kanan sebelum akhirnya aku harus menginjak remku untuk berhenti, memperhatikan punggungmu yang semakin menjauh ke arah kiri. Aku berteriak keras, tapi aku rasa luasnya langit telah mengaburkan suaraku. Aku mencoba mengirim radar padamu, suatu petunjuk yang selama ini kita gunakan ketika tersesat dalam kesunyian dan pertengkaran hebat, tapi tidak juga berhasil. Pada akhirnya aku harus rela mengikuti arahmu yang lebih rumit dan aku menemukanmu berhenti di tempat pengisian bahan bakar. Aku tidak ingin menanyakan apapun tentang keputusanmu memilih arah berbeda, aku pikir aku harus mengikutimu karena aku percaya jalan yang kamu ambil tentu baik untukku. Namun aku mendengar jawaban lain darimu, sebuah jawaban yang menggetarkan keberanianku atas semua resiko kebersamaan kita…”
Aku pernah menyanyikan sebuah lagu untukmu, dan aku rasa lagu ini tepat untuk kita saat ini. Kamu ingat, lagu ini pernah menduduki playlist teratas di memori musik telepon selulerku. Aku menyadarinya, lagu itu benar, seberapapun kuat ikatan kita, bila aku bukan jalanmu, “mungkin” aku akan berhenti mengharapkanmu, tapi jika aku memang diciptakan Tuhan untuk menjadi bagian dari hidupmu, aku pasti memilikimu karena aku percaya, tulang rusuk tidak akan pernah tertukar.
“…jika aku bukan jalanmu, ku berhenti mengharapkanmu, jika aku tercipta untukmu, ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu…”
Hujan tidak kunjung reda meskipun sebuah lilin harapan aku keluarkan dari dalam saku jaketku. Aku nyalakan api dan lilin itu menghangatkanku. Aku ingat, ulang tahunku tahun lalu, ketika pagi buta yang dingin ditemani guyuran hujan kamu datang dan mengejutkanku dengan bunga yang kamu petik dari dalam hatimu, segar dan tidak pernah habis harumnya. Lilin yang sama pernah menghangatkanmu, membuat air mata kita jatuh di atas rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk umurku yang bertambah dan berharap menjadi berkah.
“Atas umur yang Tuhan berikan padamu, aku harap kamu bisa menjaganya sehingga bisa kamu gunakan untuk membahagiakan orang-orang di sekitarmu, orang yang kamu sayang, termasuk aku”
            Tetes air hujan perlahan menetes di pundakku. Aku bisa merasakannya, dingin dan kosong, jatuh ke arah bawah, aku merasakan kerinduannya yang mendalam pada tanah yang aku pijak, tanah yang sudah retak dan tidak berpenghuni. Sama seperti tetesan air mataku yang perlahan menetes melewati dua tahanan pipi dan akhirnya tak bisa dibedakan dengan air hujan. Kami sama-sama merasakan sedih dan rindu meskipun dalam konteks yang berbeda.
        “…sayang, pergilah kemanapun kamu ingin melangkahkan kakimu, bersenang-senanglah dengan pilihan yang kamu buat, kamu bebas melakukan apapun yang kamu inginkan, kaki kita mungkin harus saling menjauh dan menemukan titik akhir masing-masing, bukankah kita sama-sama tidak tahu dimana dan dengan siapa kita akan berhenti untuk bahagia di dunia ini, mungkin titik akhirmu adalah puncak gunung sedangkan aku mungkin akan menemukan titik akhir yang lebih jauh, mungkin dasar laut atau palung laut. Kita memang pernah terkurung dalam suatu ruang yang tidak tahu dimana ujungnya dan saat ini aku tidak berhak atas senang dan sedihmu, simpan itu untuk “dia” yang menjemput di balik pintumu.”
            Aku menjadi sangat kaku dan pendiam setelah memutuskan membelokkan kemudiku, menjauh untuk melaju di jalanku sendiri, sekali lagi dengan dua kaki yang tidak begitu kuat untuk melangkah mantap. Aku terus menerus memutar sebuah lagu yang menguatkan tekadku untuk mempertahankan hubungan diantara kita.
        “…aku memang tak berhati besar untuk memahami hatimu di sana, aku memang tak berlapang dada untuk menyadari kau bukan milikku lagi, dengar…dengarkan aku, aku akan bertahan sampai kapanpun, sampai kapanpun…”
            Beberapa waktu kemudian, aku tidak begitu yakin dengan lirik laguku, mempertahankan sesuatu yang tidak ingin dipertahankan mungkin bukan cara yang tepat untuk membahagiakan orang yang kita sayang. Aku rasa kita memang harus bertemu orang yang tidak tepat sebelum menemukan “dia” yang akan bersanding dengan kita di kursi senang dan sedih yang sesungguhnya, jodoh kita. Tuhan pasti menginginkan sesuatu dari kita di persimpangan jalan itu, mungkin Dia ingin kita berusaha memantaskan diri dan mulai menyadari untuk tidak mengambil “hak orang lain” dan bersedia menunggu waktu yang tepat untuk memeluk harapan masa depan.
            Baiklah, lilin harapan yang tersisa ini, akan aku simpan dan aku nyalakan nanti untuk dia yang kedinginan dan perlu kehangatan kasih dan sayang. Sepucuk surat harapan berisi pesan cinta juga akan aku tulis untuknya agar dia tahu keberhasilanku menanti saat yang tepat untuk dia yang tepat.

            “Oh Tuhan, tolong aku sampaikan pesan ini padanya agar dia tau bahwa kini aku jatuh cinta, Oh Tuhan tolong aku temukan cara tuk mendapatkan dia, karena kini ku tlah jatuh cinta…”

No comments:

Post a Comment