Suasana forum pengurus himpunan mahasiswa
memang selalu sepi. Semua diam kecuali seseorang yang kedudukannya paling
tinggi dan ditakuti seantero ruangan. Aku tidak ingin memulai kegaduhan dengan
pendapatku, lebih baik aku diam dulu. Diam pun bukan tanpa sebab, karena
sesungguhnya tidak ada pendapat yang paling tepat selain pendapat orang yang
paling tinggi itu, aku jadi malas berbicara apapun.
“Mahasiswa
itu selalu mendadak kalau minta apa-apa, selalu mengatur seenaknya sendiri.” kata ketua jurusanku yang berwibawa.
Aku menggerutu dalam hati, “Kenapa selalu aku (mahasiswa) yang disalahkan, buat program ini salah,
yang ini kurang, yang itu mendadak. Ah..maunya bagaimana?”
Dunia memang terlalu penuh dengan peluh dan
mengeluh. Bukan hanya orang muda melainkan orang dewasa pun tidak jarang naik
darah karenanya. Bagaimana tidak, kehidupan ini tentu tidak akan terlepas dari
masalah dan masalah, tidak akan mungkin seseorang bisa bertahan hidup sendiri
dengan tidak memedulikan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Sedangkan setiap
orang memiliki karakter atau ciri masing-masing, semua berbeda.
“Kalian
masih muda, kembangkan potensi dari arah mana saja, jangan diam menunggu
perintah untuk membuat program kerja organisasi.” sekali lagi beliau berbicara dengan lembut dan
menunjukkan wibawanya.
Aku mencoba mengutarakan pendapat, “Lalu bagaimana dengan kuliah, ibu selalu
bilang tugas utama kami adalah belajar, sedangkan kegiatan organisasi adalah setelahnya?
Keseimbangan antara keduanya memang sulit, dan lebih sulit lagi karena
mahasiswa tidak mendapat dukungan penuh dalam berorganisasi.”
“Lha
ini, salah satu mahasiswa yang selalu merasa bisa. Kalian di sini harusnya
belajar untuk bisa merasa, bukan merasa bisa lantas berbicara semaunya.” jawabnya membalas pertanyaanku.
Lagi-lagi aku harus gigit jari mendengar
jawabannya yang selalu sama, “Apa aku salah
lagi ya? Jadi, aku kurang baik hati sudah mau mengembangkan organisasi ini.”
Aku dan teman-temanku punya rasa yang
berbeda-beda dalam merajut asa di himpunan mahasiswa ini. Kemarahan,
penghinaan, menangis, terharu semua sudah biasa didapatkan. Pada akhirnya semua
itu menjadi suatu kebiasaan tersendiri bagiku, kebiasaan memiliki muka yang
tebal untuk membela hak dan menuntut kewajiban.
“Sudah
tidak dibayar, selalu kena marah, dituduh mengambil untung untuk diri sendiri
lagi, lelah.” kataku pada
seorang teman.
Tiba-tiba seorang teman yang lain berkata, “Kita sebenarnya terlalu mengalah kepada
kampus, sehingga mereka pikir jalan kita mulus-mulus saja.”
“Cara
baik-baik dengan diskusi tidak berhasil, mencoba agak frontal dengan berani
berpendapat lantang juga masih saja tidak ada perubahan. Bagaimana lagi, demo?”
tanyaku agak emosi.
Beginilah roda himpunan mahasiswa jurusanku,
berusaha berkembang sedangkan di sisi lain terus ditekan sehingga sulit tumbuh.
Aku dan teman-temanku berusaha mengikuti alur pikir dan managemen kampus, namun
tidak pernah ada satupun hal baik kami yang diakuinya. Semua yang kami lakukan
dikatakan salah, mendadak bahkan tidak tahu etika. Tidak hanya dalam
pelaksanaan program kerja, tetapi sudah mendarah daging dalam kehidupan di luar
organisasi.
Aku mungkin orang jahat
menurut mereka, penghancur sistem jurusan yang sudah dibangun secara
turun-temurun sejak dulu. Sistem yang sebenarnya tidak menginginkan perubahan
nyata pada bidang kemahasiswaan, membungkam secara halus setiap aspirasi yang
masuk, semua hanya masuk ke dalam bak penampung yang tidak pernah dibuka
penutupnya.
“Lama-lama pasti bak itu akan nyaring bunyinya, bagaimanapun tidak bisa
dipungkiri bak itu bisa penuh dan meluap. Aku hanya ingin tahu tindakan kampus
bila semua mahasiswa meluapkan suaranya, pasti lucu.” kataku sinis.
Aku tidak yakin
himpunan mahasiswa ini bisa berkembang dengan baik bila terlalu sering dibatasi
oleh alasan-alasan klasik yang tidak penting. Aku berusaha memotivasi
teman-teman untuk terus bersemangat di antara hujan cacian dan celaan hingga
mereka menyadari bahwa kampus bukan satu-satunya elemen penghancur karena
sesungguhnya egoisme diri sendiri adalah penghancur terbesar.
No comments:
Post a Comment