Pages

Sunday, December 28, 2014

Susah Jadi Baik, Jadi Jahat dilarang


Suasana forum pengurus himpunan mahasiswa memang selalu sepi. Semua diam kecuali seseorang yang kedudukannya paling tinggi dan ditakuti seantero ruangan. Aku tidak ingin memulai kegaduhan dengan pendapatku, lebih baik aku diam dulu. Diam pun bukan tanpa sebab, karena sesungguhnya tidak ada pendapat yang paling tepat selain pendapat orang yang paling tinggi itu, aku jadi malas berbicara apapun.
“Mahasiswa itu selalu mendadak kalau minta apa-apa, selalu mengatur seenaknya sendiri.” kata ketua jurusanku yang berwibawa.
Aku menggerutu dalam hati, “Kenapa selalu aku (mahasiswa) yang disalahkan, buat program ini salah, yang ini kurang, yang itu mendadak. Ah..maunya bagaimana?”
Dunia memang terlalu penuh dengan peluh dan mengeluh. Bukan hanya orang muda melainkan orang dewasa pun tidak jarang naik darah karenanya. Bagaimana tidak, kehidupan ini tentu tidak akan terlepas dari masalah dan masalah, tidak akan mungkin seseorang bisa bertahan hidup sendiri dengan tidak memedulikan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Sedangkan setiap orang memiliki karakter atau ciri masing-masing, semua berbeda.
“Kalian masih muda, kembangkan potensi dari arah mana saja, jangan diam menunggu perintah untuk membuat program kerja organisasi.” sekali lagi beliau berbicara dengan lembut dan menunjukkan wibawanya.
Aku mencoba mengutarakan pendapat, “Lalu bagaimana dengan kuliah, ibu selalu bilang tugas utama kami adalah belajar, sedangkan kegiatan organisasi adalah setelahnya? Keseimbangan antara keduanya memang sulit, dan lebih sulit lagi karena mahasiswa tidak mendapat dukungan penuh dalam berorganisasi.”
“Lha ini, salah satu mahasiswa yang selalu merasa bisa. Kalian di sini harusnya belajar untuk bisa merasa, bukan merasa bisa lantas berbicara semaunya.” jawabnya membalas pertanyaanku.
Lagi-lagi aku harus gigit jari mendengar jawabannya yang selalu sama, “Apa aku salah lagi ya? Jadi, aku kurang baik hati sudah mau mengembangkan organisasi ini.”
Aku dan teman-temanku punya rasa yang berbeda-beda dalam merajut asa di himpunan mahasiswa ini. Kemarahan, penghinaan, menangis, terharu semua sudah biasa didapatkan. Pada akhirnya semua itu menjadi suatu kebiasaan tersendiri bagiku, kebiasaan memiliki muka yang tebal untuk membela hak dan menuntut kewajiban.
“Sudah tidak dibayar, selalu kena marah, dituduh mengambil untung untuk diri sendiri lagi, lelah.” kataku pada seorang teman.
Tiba-tiba seorang teman yang lain berkata, “Kita sebenarnya terlalu mengalah kepada kampus, sehingga mereka pikir jalan kita mulus-mulus saja.”
“Cara baik-baik dengan diskusi tidak berhasil, mencoba agak frontal dengan berani berpendapat lantang juga masih saja tidak ada perubahan. Bagaimana lagi, demo?” tanyaku agak emosi.
Beginilah roda himpunan mahasiswa jurusanku, berusaha berkembang sedangkan di sisi lain terus ditekan sehingga sulit tumbuh. Aku dan teman-temanku berusaha mengikuti alur pikir dan managemen kampus, namun tidak pernah ada satupun hal baik kami yang diakuinya. Semua yang kami lakukan dikatakan salah, mendadak bahkan tidak tahu etika. Tidak hanya dalam pelaksanaan program kerja, tetapi sudah mendarah daging dalam kehidupan di luar organisasi.
            Aku mungkin orang jahat menurut mereka, penghancur sistem jurusan yang sudah dibangun secara turun-temurun sejak dulu. Sistem yang sebenarnya tidak menginginkan perubahan nyata pada bidang kemahasiswaan, membungkam secara halus setiap aspirasi yang masuk, semua hanya masuk ke dalam bak penampung yang tidak pernah dibuka penutupnya.
            “Lama-lama pasti bak itu akan nyaring bunyinya, bagaimanapun tidak bisa dipungkiri bak itu bisa penuh dan meluap. Aku hanya ingin tahu tindakan kampus bila semua mahasiswa meluapkan suaranya, pasti lucu.” kataku sinis.

            Aku tidak yakin himpunan mahasiswa ini bisa berkembang dengan baik bila terlalu sering dibatasi oleh alasan-alasan klasik yang tidak penting. Aku berusaha memotivasi teman-teman untuk terus bersemangat di antara hujan cacian dan celaan hingga mereka menyadari bahwa kampus bukan satu-satunya elemen penghancur karena sesungguhnya egoisme diri sendiri adalah penghancur terbesar.

No comments:

Post a Comment